Pemanasan Global dan Ekosistem

Latar Belakang
Setiap tindakan manusia akan bertalian dengan eksistensi alam atau lingkungan. Jangan selalu menyalahkan manusia atas peristiwa tersebut, meskipun manusia selalu dikambinghitamkan dalam masalah kerusakan lingkungan. Begitu pula jangan selalu memprioritaskan manusia sebagai bagian biosfer yang harus diselamatkan atas pemanasan global. Karena semua makhluk menginginkan tetap lestari. Lebih tepat jika kita kembangkan kesadaran bersama manusia untuk menjaga eksistensi keseimbangan alam guna meminimalisir dampak pemanasan global serta eksistensi manusia itu sendiri. Sebab pada dasarnya manusia merupakan bagian dari sebuah entitas yang lebih besar.
Kerusakan alam selalu diidentikkan dengan kesalahan kaum non-morginal, industri dengan pencemarannya, meledaknya konsumsi bahan bakar oleh kendaraan bermotor yang berujung pada polusi dan sebagainya. Namun usaha-usaha peningkatan pertanian atau metode bercocok tanam yang tidak ramah lingkungan justru diabaikan. Contoh kecil tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak hanya kesadaran berperilaku baik terhadap alam saja yang perlu ditingkatkan, tetapi juga pemahaman holistik terhadap berbagai fenomena yang ada di sekitar kita.
Tidak terlalu banyak yang merasakan sebuah perubahan peningkatan suhu yang ada di lingkungannya, hanya karena peningkatan suhu berlangsung secara perlahan. Di lain sisi, kejadian banjir di berbagai wilayah indonesia semakin meningkat intensitasnya.tidak hanya banjir Sementara di sebagian wilayah lain di Indonesia tengah mengalami kekeringan berkepanjangan. Tanah-tanah merekah dan tak cukup baik untuk diusahakan sebagai lahan pertanian. Krisis air bersih juga melanda wilayah-wilayah tersebut. Para peneliti sebagian menyatakan bahwa peningkatan suhu merupakan sebuah akibat dari semakin perubahan ekosistem dunia dan juga perubahan pada lapisan atmosfer yang melingkupi bumi.

Pemanasan Global
Pemanasan global, yang dapat dimaknai sebagai kejadian meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Dalam sejarahnya, planet Bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Hingga kini Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuwan dianggap disebabkan aktifitas manusia.
Terdapat berbagai penyebab yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global tersebut. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.
Akibat pemanasan global, beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah.
Penghilangan pepohonan (pembalakan hutan) telah mengakibatkan berkurangnya kemampuan penyerapan gas rumah kaca, serta meningkatkan pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Selain itu, pemanasan global juga disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.

Pemanasan Global dan Perubahan Ekosistem
Bumi yang notabenenya tempat tinggal bagi seluruh makhluk hidup perlahan semakin berubah keadaannya. Perubahan tersebut tentu saja sangat mengkhawatirkan, karena bisa merusak tatanan ekologis yang sejak dulu hidup di lingkungan tersebut.
Secara garis besar dapat kita kembangkan pemikiran akhir menyangkut fenomena pemanasan global. Pertama, pemanasan global merupakan fenomena ketimpangan lingkungan, merosotnya fungsi-fungsi daya dukung lingkungan dan merupakan kejadian yang berakar pada perilaku manusia terhadap alam sekitarnya. Pemanasan global menjadi bentuk kejadian yang dipetik manusia dari hasilnya menanam merupakan sebuah pernyataan yag benar apabila bercermin pada kenyataan saat ini.
Kedua, reorientasi paradigma pembangunan menjadi satu hal penting sebagai wujud preventif mengakomodir permasalahan lingkungan, termasuk di dalamnya fenomena pemanasan global.
Koreksi diperlukan dalam berbagai cara pandang terhadap permasalahan lingkungan maupun pembangunan saat ini. Economic oriented harus sejalan dengan prioritas keberlanjutan lingkungan dalam setiap pembangunan. Sebuah kesalahan jika kita melihat permasalahan lingkungan semata-semata sebagai problem teknik dan memerlukan penyelesaian secara teknis. Tidak semudah itu, problem tersebut memerlukan koherensi aspek-aspek humanis oleh manusia dengan segala kesadaran dan akal sehatnya serta aspek ekonomi yang merupakan kartu kunci dari setiap pembangunan. Berbagai usaha yang dilakukan untuk meminimalkan dampak pemanasan global mestinya diimplementasikan dalam sebuah konsep yang konprehensif dan holistik, memadukan berbagai elemen konsep dan pemahaman teoritik. Di mana usaha tersebut dijalankan dalam kerangka komitmen dan pengembangan kebijakan yang implementatif, serta prosedur monitoring yang tidak anakronistik, artinya harus peka jaman.
Hal ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah perwujudan moralitas manusia secara utuh dalam memandang fenomena pemanasan global. Dalam hal ini, penekanan terhadap nilai-nilai yang bersifat transendental sangat penting. Sedikit demi sedikit kesadaran manusia sebagai bagian dari entitas yang lebih besar harus terus ditumbuhkan. Manusia memiliki kewajiban terhadap dirinya sendiri, sesama dan linkungan.

Humanisme Pemanasan Global dan Pragmatisme Ekologi
Revitalisasi kerusakan alam maupun upaya preventif guna menjaga keseimbangan lingkungan dalam mengatasi dampak pemanasan global merupakan sisi humanisme yang diselaraskan dengan berbagai model pencapaian keberlanjutan lingkungan, di mana pragmatisme ekologi sering diabaikan dalam mengejar nilai-nilai humanisme. Keberhasilan dalam mengakomodir fenomena pemanasan global sangat dipengaruhi oleh kemauan dan keseriusan serta kemampuan berbagai elemen masyarakat dalam merepresentasikan berbagai kebijakan, melihat secara parsial berbagai faktor yang potensial memperluas dampak pemanasan global kemudian mengakumulasikan faktor-faktor tersebut dalam sebuah kerangka solusi yang komprehensif. Tentu saja didukung oleh prioritas pembangunan yang tetap memperhatikan keseimbangan orientasi ekonomi (skala-skala ekonomi) dan keseimbangan aspek lain (sosial, budaya, politik), terutama keberlanjutan lingkungan.
Disinilah fenomena pemanasan global dapat dipandang dalam sebuah konsep humanisme, dimana fenomena tersebut dapat diibaratkan sebagai sebuah organisme hidup yang terus berkembang karena nutrisi yang diberikan manusia dari perkembangan peradaban mereka, kaidah modernisme yang tidak lagi humanis. Sementara di sisi lain, pemanasan global menjadi refleksi cara tercepat ekologi untuk menjelma menjadi sosok antagonis yang mengancam eksistensi alam, termasuk manusia. Sampai kapankah drama pertentangan alam dan manusia ini akan berakhir? Kita semua bisa menjadi tidak tahu ataupun menjadi tahu akan akhir dari semua ini, karena kita juga menjadi bagian vital dari perjalanan drama tersebut.
Bencana ekologi kian semakin sering terjadi di berbagai belahan di dunia. Kejadian banjir, kekeringan dan longsor telah menjadi berita harian. Dalam setiap tahunnya, berbagai daerah di Kaltim mengalami tiga kali kejadian banjir. Bahkan di tahun ini, kejadian banjir telah menjadi sebuah kejadian yang sangat luar biasa dibandingkan tahun sebelumnya, karena telah terjadi dalam waktu yang lebih lama dan wilayah kejadian yang lebih luas.
Sementara di sebagian wilayah lain di dunia dan Indonesia tengah mengalami kekeringan berkepanjangan. Tanah-tanah merekah dan tak cukup baik untuk diusahakan sebagai lahan pertanian. Krisis air bersih juga melanda wilayah-wilayah tersebut. Perubahan iklim juga mengakibatkan semakin meluasnya penyebaran penyakit dan munculnya jenis-jenis penyakit baru.
Agresifnya pemerintah dalam berpihak pada investasi juga telah secara nyata menghadirkan kejadian bencana ekologi di berbagai wilayah di negeri ini. Banjir dan kekeringan juga tidak hanya semata disebabkan akibat pemanasan global, namun lebih disebabkan pada hancurnya tatanan ekosistem sebuah kawasan akibat pembukaan hutan, rawa, kerangas dan pegunungan kapur bagi kepentingan industri.
Oleh karena itu pendekatan rancangan bangunan yang ekologis, yaitu memahami dan selaras dengan perilaku alam diharapkan dapat memberi kontribusi yang berarti bagi perlindungan alam dan sumber daya didalamnya sehingga mampu membantu mengurangi dampak pemanasan global.

Pemahaman Terhadap Alam
Dalam lingkungan alam, terdapat berbagai ekosistim dengan masing-masing siklus hidupnya, dimana siklus hidup setiap makhluk hidup mempunyai hubungan timbal balik dengan yang organik dan anorganik, demikian juga dengan manusia. Manusia untuk kelangsungan hidupnya juga membutuhkan penunjang kehidupaan yang organik dan anorganik. Yang organik adalah semua yang berasal dari alam dan dapat kembali kealam, tetapi yang menjadi masalah adalah yang anorganik, yaitu penunjang dalam bentuk fisik, seringkali tidak selaras dengan sistim alamiah. Ketidak selarasan dengan sistim yang alamiah dapat memicu berbagai macam perubahan di alam. Oleh karena itu perlu adanya suatu sikap memahami perilaku alam yaitu memperhatikan bagaimana ekosistim-ekosistim dialam bersuksesi. Sistim-sistim di alam pada umumnya mempunyai siklussiklus tertutup dan apabila dari siklus tersebut mengalami gangguan sampai batas tertentu masih mampu untuk beradaptasi. Tetapi bila sudah melampau batas kemampuan adaptasi, maka akan terjadi perubahan-perubahan, transformasi dan sebagainya. Perubahan siklus di alam akan berdampak pada kualitas hidup manusia. Sistim di alam Siklus tertutup dialam dan bila ada gangguan Sistim buatan manusia Rangkaian akibat kegiatan manusia pada alam
Kebutuhan hidup manusia dalam bentuk fisik seringkali memanfaatkan sumber daya alam, seperti energi dan bahan bangunan tetapi juga memberikan dampak yang seringkali tidak dapat diterima oleh alam. Apalagi dengan jumlah populasi manusia yang berkembang pesat dan kemajuan teknologi yang makin canggih. Hal ini mempercepat turunya kualitas alam dan rusaknya siklus ekosistim didalamnya. Dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam bentuk fisik salah satunya adalah bangunan serta sarana dan prasarna sebagai wadah berlindung dan beraktivitas.

Peran Arsitek dalam Pemanasan Global dan Ekologi
Bangunan didirikan berdasarkan rancangan yang dibuat oleh manusia yang seringkali lebih menekankan pada kebutuhan manusia tanpa memperhatikan dampaknya terhadap alam sekitarnya. Seharusnya manusia sadar betapa pentingnya kualitas alam sebagai penunjang kehidupan, maka setiap kegiatan manusia seharusnya didasarkan pada pemahaman terhadap alam termasuk pada perancangan arsitektur. Pemahaman terhadap alam pada rancangan arsitektur adalah upaya untuk menyelaraskan rancangan dengan alam, yaitu melalui memahami perilaku alam., ramah dan selaras terhadap alam.
Keselarasan dengan alam merupakan upaya pengelolaan dan menjaga kualitas tanah, air dan udara dari berbagai kegiatan manusia, agar siklus-siklus tertutup yang ada pada setiap ekosistim, kecuali energi tetap berjalan untuk menghasilkan sumber daya alam.
2.6 Indonesia dan Pemanasan Global
Dampak pemanasan global di Indonesia sudah mulai tampak, antara lain:
(1) kenaikan temperatur udara sekitar 0,3 oc sejak 1990;
(2) perubahan musim yang ditunjukkan oleh adanya pola curah hujan yang tidak menentu, banjir dan longsor, sementara di tempat lain mengalami kekeringan;
(3) permukaan air laut naik sehingga mengakibatkan potensi hilangnya beberapa pulau kecil, garis pantai akan mundur lebih dari 60 cm ke arah darat, nelayan kehilangan tempat tinggal, makin meluasnyaIntrusi air laut, rusaknya ekosistem hutan bakau, perubahan sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir, Dan timbul perbedaan tingkat air pasang dan surut di beberapa daerah aliran sungai;
(4) di sektor perikanan terjadi pemutihan karang, jumlah terumbu karang akan menurun dan komposisi ikan laut berubah, terganggunya kehidupan ikan jenis tertentu, migrasi ikan ke wilayah lain yang lebih dingin,Serta kepunahan beberapa spesies;
(5) di sektor kehutanan terjadi kepunahan beberapa spesies flora Fauna karena tidak mampu beradaptasi dan kebakaran hutan karena peningkatan suhu;
(6) di sektor pertanian terjadi keterlambatan musim tanam atau panen sehingga ketahanan pangan terganggu; dan
(7) di sektor kesehatan, terjadi peningkatan frekuensi penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah.

Persoalan yang dihadapi indonesia yang terkait dengan isu perubahan iklimnya jauh lebih kompleks dari sekadar isu deforestasi dan emisi karbon. Sementara itu, isu ekologi-sosiologis sejauh ini terkesan tidak disentuh. Selain menjawab persoalan-persoalan akibat perubahan iklim dengan mencegah penggundulan hutan dan “mencari uang receh”, persoalan mendasar menyangkut krisis sosial sebagai akibat dari krisis ekologi sama sekali belum dijawab.

Perubahan Iklim dan Eksplorasi Sumberdaya Alam
Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap isu perubahan iklim sehingga matriks belajar bersama untuk memahami syarat sosial ekologis negara kepulauan menjadi penting. Jika wilayah kepulauan ini terendam akibat permukaan air laut naik 1 meter, urusannya adalah mengevakuasi 60-70 juta manusia. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah keterbatasan sumber daya alam dan kebutuhan akan konservasi energi. Pada saat yang sama, kapitalisme global yang didukung mekanisme internasional mendorong indonesia memperluas Eksplorasi sumber daya alam. Kondisi ini menafikan kompleksitas masalah perubahan iklim global. Perundingan di meja negosiasi tak terlepas dari siapa yang memimpin. Sebagai contoh, dalam perundingan unfccc tentang perdagangan karbon, misalnya, negara seperti indonesia “dipaksa” berhitung tentang berapa dolar yang didapatkan dari mekanisme pembangunan bersih (cdm) yang dilakukan. Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu. Perubahan tidak akan terjadi kalau yang kemudian berlaku adalah business as usual, tanpa perubahan sikap institusional, selain juga terkait dengan bagaimana interaksi rakyat dengan ekosistem di sekelilingnya. Selain itu, jurang kesenjangan antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat pun sangat lebar. Dalam konteks ini, bantuan australia untuk omzet karbon di papua yang mensyaratkan larangan deforestasi seharusnya dibawa ke dalam konteks masyarakat setempat. Dari sisi ekologi larangan deforestasi di papua mungkin tepat karena lapisan tanah teratas (top soil) akan hilang akibat curah hujan yang tinggi. Namun, di sisi lain larangan itu seharusnya tidak merugikan masyarakat. Yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mereka tetap dapat memanfaatkan hasil hutan sekaligus menjaga fungsi konservasinya. Konflik terjadi akibat ketidakmengertian dan kesalahpahaman yang tidak diluruskan. Pada kenyataannya, pendidikan kepada masyarakat secara langsung sesungguhnya sangat sulit. kendala utama adalah tidak banyak orang yang mau nongkrong di perdesaan dan membina sebuah kelompok masyarakat secara tekun. Metode ¬metode pendidikan masyarakat yang tepat amat dibutuhkan agar pendekatan semacam ini bisa berhasil. beberapa program pendidikan ke masyarakat yang sudah tersedia dananya adalah program untuk mengatasi kebakaran hutan.
Program dengan pendekatan sosial ekologis ini dilakukan dengan merumuskan tiga maksim yang mesti secara simultan dipenuhi. maksim pertama adalah pemenuhan keamanan masyarakat agar tidak terjadi konflik tata guna fungsi lahan seperti terjadi di Lembata yang akan dijadikan ladang eksplorasi tembaga. Kedua, mendefinisikan kembali produktivitas sebagai produktivitas dalam memenuhi syarat kualitas hidup. ketiga, keberlangsungan layanan alam yang merupakan dasar ekonomi berbasis lingkungan. menjadi tidak ada artinya ketika indonesia mengeksplorasi minyak dan gas buminya yang sudah menghasilkan penerimaan US$ 300 juta, tetapi tak berbuat apa-apa untuk mengembangkan sumber energi murah dan bahan bakar non-fosil, misalnya angin. Hal serupa terjadi jika indonesia tidak dapat menggunakan dana adaptasi untuk membenahi tata kelola hutan dan penge lolaan hutan yang berkelanjutan. ketimpangan dalam pendekatan masalah perubahan iklim harus mulai diatasi dengan kolaborasi yang sungguh-sungguh antarsektor dan antara masyarakat-pemerintah. Langkah-langkah ini sebagai persiapan menghadapi konferensi para Pihak (cop) ke-13 kerangka kerja perrserikatan bangsa-bangsa mengenai perubahan iklim (UNFCCC) mendatang. strategi indonesia harus berbasis komunitas dengan cakupan regional. kalau tidak, semua yang dibicarakan di tingkat global terlepas dari situasi sosial yang ada di masyarakat.Langkah yang perlu segera dilakukan adalah menyesuaikan model perubahan iklim yang ada sekarang dengan faktor-faktor lokal/indigenous, dengan memerhatikan posisi masyarakat dalam tata ekologi¬sosial dengan keuntungan ekologis bagi masyarakat. Perlu disadari bahwa perubahan sosial ekologis akan membawa perubahan ekonomi jangka panjang. selanjutnya perlu dirunut bagaimana partisipasi indonesia selama ini dalam konvensi dan protokol. selain itu, juga dibutuhkan matriks belajar bersama untuk mengurus pemenuhan syarat sosial ekologis wilayah kepulauan sebagai bentuk pengelolaan krisis menghadapi dampak perubahan iklim. matriks belajar bersama ini juga perlu diperluas ke dalam cakupan regional, yakni Asia Tenggara
Program dengan pendekatan sosial ekologis ini dilakukan dengan merumuskan tiga maksim yang mesti secara simultan dipenuhi. maksim pertama adalah pemenuhan keamanan masyarakat agar tidak terjadi konflik tata guna fungsi lahan seperti terjadi di Lembata yang akan dijadikan ladang eksplorasi tembaga. Kedua, mendefinisikan kembali produktivitas sebagai produktivitas dalam memenuhi syarat kualitas hidup. ketiga, keberlangsungan layanan alam yang merupakan dasar ekonomi berbasis lingkungan. menjadi tidak ada artinya ketika indonesia mengeksplorasi minyak dan gas buminya yang sudah menghasilkan penerimaan US$ 300 juta, tetapi tak berbuat apa-apa untuk mengembangkan sumber energi murah dan bahan bakar non-fosil, misalnya angin. Hal serupa terjadi jika indonesia tidak dapat menggunakan dana adaptasi untuk membenahi tata kelola hutan dan penge lolaan hutan yang berkelanjutan. ketimpangan dalam pendekatan masalah perubahan iklim harus mulai diatasi dengan kolaborasi yang sungguh-sungguh antarsektor dan antara masyarakat-pemerintah.
Kecenderungan manusia untuk merubah bumi (alam), khususnya dengan perkembangan teknologi dan maraknya pembangunan dimaksud, telah membawa perubahan pada bumi ini, baik sistem maupun stuktur ekologisnya secara cepat dan fundamental. Penerobosan teknologi dan pembangunan membuka peluang besar bagi manusia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi bumi (alam) tanpa terimbangi dengan upaya konservasi sebagai tindakan antisipatif atas kerugian dan degradasi ekologis (alam) yang ditimbulkannya. Krisis global ekologi seperti Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect) yang ber-impact pada Pemanasan Global (Global Warming) dengan disertai sederet problematika ekologis yang menyentuh segala aspek kehidupan manusia pun terjadi, dan memberi dampak urgensi-krusial bagi ekosistem Bumi.

Kesimpulan
Pemanasan global, yang dapat dimaknai sebagai kejadian meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Dalam sejarahnya, planet Bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Hingga kini Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuwan dianggap disebabkan aktifitas manusia.
Perubahan iklim yang tidak menentu di belahan bumi indonesia dan di dunia menyebabkan kerusakan-kerusakan lingkungan yang berdampak pada hubungan ekologis dari makhluk hidup di lingkungan tersebut pun akan berubah. Mereka yang bisa bertahan mungkin akan terjadi evolusi pada tubuhnya, baik secara fisiologi, morfologis dan tingkah laku. Dan yang tidak bisa bertahan dengan perubahan iklim tersebut bisa menyebabkan kematian, yang dalam skala besar akan menimbulkan kelangkaan dari beberapa makhluk hidup dan bisa berkibat kepunahan makhluk hidup tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.planologiugm.com/?menu=artikel&lingkungan=10
http://timpakul.hijaubiru.org/bencana-15.html
http://timpakul.hijaubiru.org/iklim-2.html.
http://ganendra-giri.blogspot.com/2008/07/pemanasan-global-dan-perubahan-iklim.html
Agoes Soegianto, (2005), Ilmu Lingkungan, sarana menuju masyarakat berkelanjutan, Airlangga University Press, Surabaya
Broadbent G, Brebia CA, (ed) (2006), Eco-Architecture, harmonization between architecture and nature, WIT Press, Southampton, UK.
Burnie D, (1999), Get a Grip on Ecology, The Ivy Press Limited, UK
Frick H, FX Bambang Suskiyanto, (1998), Dasar-dasar Eko-arsitektur, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Frick H, Tri Hesti Mulyani, (2006), Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Krusche P und M, Althaus D, Gabriel I, (1982), Okologisches Bauen, herausgegeben vom umweltbundesamt, Bauverlag GMBH, Weisbaden und Berlin.
Mackenzie LD, Masten SJ, (2004), Principles of Environmental Engineering and Science, Mc Graw Hill, Singapore

Post a Comment for "Pemanasan Global dan Ekosistem"